SEJARAH DINASTI BANI UMAYYAH
PENDAHULUAN
Sejarah
Bani Umayyah tak dapat dilepaskan dari sejarah sebelumnya, yaitu krisis
kepemimpinan yang melanda umat Islam pasca-terbunuhnya Khalifah Utsman bin
Affan r.a. Sejarah mencatat bahwa setelah terbunuhnya khalifah Utsman, bibit konflik
mulai muncul. Umat Islam mulai mengalami konflik internal antara beberapa faksi
yang ada, seperti perang Jamal antara faksi ummul mu’minin Aisyah dan Zubair
bin Awwam r.a. dengan faksi Ali. Konflik juga terjadi pada perang Shiffin
antara Muawiyah dengan Ali.
Menarik untuk dicermati, konflik ini
bermuara pada aktivitas pemberontakan yang berakibat pada terbunuhnya Khalifah
Utsman di akhir kepemimpinannya. Ketika Ali menggantikan Utsman, umat Islam
terfaksionalisasi menjadi beberapa kelompok, seperti kelompok ‘Aisyah r.a.,
kelompok Ali, dan kelompok Muawiyah yang pada waktu itu menjadi gubernur di
Syam (Syria dan sekitarnya). Faksionalisasi ini pada gilirannya melahirkan
pergumulan politik yang begitu tajam hingga beberapa periode khilafah di era Dinasti
Umayyah.
Pada perang Shiffin, ada dua golongan yang
berseteru akibat krisis kepemimpinan tersebut, yaitu golongan khalifah Ali dan
golongan Muawiyah. Golongan Muawiyah yang mempertanyakan legitimasi politik
dari Khalifah Ali menyusun kekuatan, ditambah dukungan dari Amr bin Ash yang
menjadi gubernur Mesir. Sementara itu, golongan Ali tidak merespons gerakan
yang dibangun oleh Muawiyah, sehingga kedua belah pihak sama-sama show of force
di Shiffin, tepi Sungai Jordan.
Perang Shiffin ini kemudian melahirkan
gagasan untuk bertahkim, yaitu mengangkat sumpah di hadapan Al-Qur’an dan atas
nama Allah bahwa kedua belah pihak akan melepaskan diri dari kekuasaan dan akan
menyerahkan kepemimpinan pada umat. Pada saat itu, golongan khalifah Ali ra menunjuk
Abu Musa Al-Asy’ari, seorang dari Bani Abdus shams dan muhajirin yang termasuk
golongan awal masuk Islam. Sementara itu, golongan Muawiyah menunjuk Amr bin
Ash sebagai negosiator. Amr bin Ash sendiri juga adalah muhajirin dan merupakan
panglima umat Islam ketika tentara muslimin menaklukkan Mesir di era Khalifah
Umar bin Khattab.
Peristiwa tahkim tentu saja sangat diingat
karena mengubah sejarah pada waktu itu. Golongan Ali menerima usulan dan segera
melepaskan kepemimpinan. Akan tetapi, Amr bin Ash ternyata menyatakan
melepaskan kepemimpinan dan ternyata, di luar dugaan Amr bin Ash menyatakan
bahwa Khalifah yang sah adalah Muawiyah. Karena hal ini adalah sumpah, maka
sebagai konsesi Khalifah Ali membagi wilayah menjadi dua: Wilayah Hijaz, Yaman,
dan Nejd (Semenanjung Arabia) menjadi kekuasaan Ali, sementara Syam dan Mesir
di bawah Muawiyah.
Ternyata, hasil konsesi tersebut
menimbulkan implikasi lanjutan berupa terfragmentasinya kekuatan Ali menjadi
tiga: Syiah, Khawarij, dan kelompok yang setia dengan khalifah Islam. Dua
kelompok pertama kemudian bertransformasi menjadi faksi teologis dan tidak lagi
berafiliasi kepada kekuatan umat yang utama pada waktu itu. Pada
perkembangannya, kelompok Khawarij melakukan tindakan takfir kepada tiga tokoh
umat yang berkonflik pada waktu itu: Ali, Muawiyah, dan Amr bin Al-Ash.
Kelompok ini akhirnya mengutus pengikutnya untuk membunuh ketiga orang
tersebut, namun hanya Ali yang berhasil dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam di
Kufah, selepas Shalat Subuh.
Meninggalnya Ali kemudian berimplikasi
pada vacum of power di tubuh umat Islam. Orang-orang Hijaz mengangkat bai’at
kepada Hasan bin Ali, tetapi Hasan menolak bai’at dan membuat perjanjian dengan
Muawiyah. Isi perjanjian tersebut salah satunya adalah mempersilakan Muawiyah
untuk menjadi khalifah, tetapi dengan catatan Muawiyah menghentikan sikapnya
untuk mencaci-maki Ali di mimbar Jum’at. [1]
Sebagai implikasinya, kedudukan Muawiyah
bertambah kuat hingga akhirnya ia berhasil mengonsolidasi kekuatannya dengan
mendirikan Dinasti Umayyah. Fase ini menjadi era baru bagi pergantian
kepemimpinan di tubuh umat Islam waktu itu.
Sebelum membahas Dinasti Umayyah penulis
sedikit membahas mengenai khawarij dan syiah, karena kedua kelompok ini banyak
mengadakan perlawanan atau pemberontakan yang sering kali menggoyahkan Dinasti
Umayyah.
Pertama Khawarij, bagi khawarij ada
dua hal yang penting yang menjadi pandanganya, yakni politik dan keagamaan. Di
bidang politik Khawarij memiliki pemahaman, seorang khalifah harus dipilih
langsung oleh rakyat, baik dari bangsa Arab atau ‘ajam (non arab). Mereka
berusaha mengeliminir keutamaan arab atau non
arab, bahkan sebagian mereka berpendapat bahwa orang ‘ajam lebih baik
dari bangsa arab, bahkan menurut khawarij seorang perempuan pun boleh memegang
kekuasaan , jika memang mampu menyelenggarakan roda pemerintahan dan memenuhhi
criteria sebagai seorang kepala Negara. Dengan demikian, apa yang terjadi
diantara Ali dan Mu’awiyyah merupakan sebuah kesalahan, karena keduanya tidak
berangkat dari “pemilihan” oleh rakyat. Selain itu, khawarij juga meyakini
bahwa khalifah tidak diperlukan, namun cukup dengan badan khusus sebagai
penyelenggara pemerintahan (Rahman, 1977:67-68).
Sementara itu, dalam pandangan keagamaannya,
di antaranya adalah jika seorang muslim tidak menjalankan shalat, maka ia wajib
dibunuh, dan jika seorang yang meninggal dunia tanpa tobat terlebih dahulu,
maka ia akan masuk neraka selamanya. Dengan demikian, tanpa amal soleh, maka
seseorang sama halnya dengan tidak mukmin (kafir). Sesorang yang tidak bersih
hati nuraninya, maka ia termasuk golongan orang murtad, dan dalam pandanganya
seseorang yang demikian itu masuk neraka selamanya. Pandangan khawarij yang
paling mencolok adalah keyakinan bahwa orang Islam yang tidak menganut
ajaran-ajaran mereka tersebut dianggap kafir. Hal ini mendasari sikap mereka
terhadap umat Islam (selain golongan khawarij) keras dan tegas, sementara
dengan non muslim (yahudi dan Nasrani) mereka bersikap lunak. Mereka
beranggapan bahwa Ali, Amr, dan Muawiyah adalah kafir. Karena atas ulah mereka
banyak umat Islam mati di medan konflik yang ada tersebut. [2]
Orang yang mengikuti Ali dan termasuk
bagian yang mengagungkan khalifah Ali kemudian disebut sebagai Syi’ahtu Ali
(pengikut Ali) yang kemudian hari dikenal dengan kelompok Syi’ah. Mereka
kemudian berorientasi politik. Kekuatan politik tersebut mendudukkan Ali
sebagai khalifah, dan tidak pernah mengakui kekhalifahan sebelumnya. Setelah
Nabi wafat, kelompok simpatisan Ali tersebut tidak mengakui Abu Bakar sebagai
khalifah. Menurut mereka Ali adalah keluarga nabi (Ahl-al Bait) yang paling
berhak untuk menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad. Setelah Umar I
terpilih, mereka kecewa. Terlebih saat Utsman terpilih mereka tidak bisa
terima, maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa walaupun bibit Syi’ah telah
ada saat pemilihan Khalifah Abu Bakar namun dalam catatan sejarah Islam mulai
munculnya syi’ah adalah setelah wafatnya Ali bin Abu Thalib, dank arena adanya
rivalitas politik dari kelompok khawarij.
Orang Syi’ah mengakui Muhammad sebagai
Rasul dan Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu dari Allah SWT. Imam itu jabatan
sacral yang ditentukan oleh Allah dan memiliki tujuan untuk kesejahteraan umat
manusia. bagi mereka Imam merupakan seorang yang tidak pernah berdosa dan
terlindungi (ma’shum), jadi apa yang disampaikan imam merupakan ucapan Tuhan.
Dengan kalimat Syahadat ditambah dengan kalimat Ali Khalifatullah. Kelompok
Syi’ah ekstrem (al-Ghurabiah) percaya , bahwa wahyu sesungguhnya diturunkan
Allah kepada Ali, namu n Jibril keliru menyampaikan, dan justru kepada
Muhammad. Mereka juga mengklaim, bahwa dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang memihak
Syiah disembunyikan oleh orang Sunni atau disebarkan ayat-ayat palsu yang mendiskriditkan
Syi’ah. Menurut mereka Al-Qur’an dan hadis
yang diriwayatkan oleh orang Syiah kedudukanya adalah atas segala ilmu.
Oleh karena itu, menurut mereka tidak perlu Ijma dan Qiyas. Salah satu tuduhan
mereka terhadap kelompok Sunni adalah Sunni dianggap menyembunyikan hadis-hadis
yang menjelaskan, bahwa Ali merupakan khalifah setelah Nabi. Syi’ah menjadi
kekuatan politik yang utuh secara “de jure” semenjak terjadinya
peristiwa Karbala pada 10 Oktober 680M.[3]
Dalam makalah ini, pemakalah akan memfokuskan
bagaimana perkembangan politik dan ilmu pengetahuan pada masa Bani Umayyah,
factor-faktor apa saja yang menyebabkan kejatuhan dinasti Bani Umayyah,
dan menjelaskan perbedaan system antara al-Khulafa al-Rasyidun dengan
Dinasti Umayyah.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya
Pemerintah Bani Umayyah berdiri setelah Khilafah Rasyidah
yang ditandai dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib pada tahun 40 H / 661 M.
pemerintahan mereka dihitung sejak Hasan bin Ali menyerahkan kekuasaan pada
Muawiyah bin Abi Sufyan pada tanggal 25 Rabiul Awwal 41 H / 661 M.
Keberhasilan Muawiyah mendirikan dinasti
Umayyah bukan karena akibat dari kemenangan diplomasi di shiffin dan
terbunuhnya Khalifah Ali saja, dari semula Gubernur Suriah itu memilliki “
basis rasional “ yang solid bagi landasan pembangunan politiknnya di masa
depan. Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat suriah dan dari
keluarga Bani Umayyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama diperintah oleh
Muawiyah mempunyai ketentaraan yang kokoh dan terlatih dan disiplin di garis
depan dalam peperangan melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan kelompok
bangsawan kaya dari mekah dari keturunan Muawiyah dan memasoknya dengan
sumber-sumber kekuatan yang tiada habis-habisnya, baik moral, tenaga maupun kekayaan.[4]
Kedua, sebagai administrator, muawiyah
sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan- jabatan
penting, seperti Amr ibn Ash, Mughirah ibn Syu`bah dan ziyad ibn Abihi.
Ketiga, Muawiyah memiliki kemampuan
menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat ‘ Hilm “ sifat
tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Makkah zaman dahulu. Seorang manusia
hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil
keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
Gambaran dari sifat mulia tersebut dalam
diri Muawiyah setidaknya tampak dalam keputusannya yang berani memaklumkan
jabatan khalifah secara turun menurun. Situasi ketika Muawiyah naik ke kursi
kekhalifahan mengundang banyak kesulitan. Anarkisme tidak dapat lagi
dikendalikan oleh ikatan agama dan moral, sehingga hilanglah persatuan umat.
Persekutuan yang dijalin secara efektif melalui dasar keagamaan sejak Khalifah.
Abu bakar tanpa dapat dielakkan dirusakkan oleh peristiwa pembunuhan atas diri
khalifah Usman dan perang saudara sesama muslim di masa pemerintahan Ali.[5]
Pemerintahan ini berakhir dengan kekalahan
khalifah Marwan bin Muhammad di perang Zab pada bulan Jumadil Ula tahun 132 H /
749 M. Pemerintahan Bani Umayyah
berlangsung selama 90 tahun. Pemerintahan ini dikuasai oleh dua keluarga
( dari keturunan Abu Sufyan dan Keluarga Bani Marwan ) dan diperintah oleh 14
orang khalifah dengan Damaskus sebagai ibukotanya.[6]
B. Para Khalifah Bani Umayyah
Dinasti Umayyah berkuasa hampir satu abad,
dengan 14 khalifah. Mereka adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M),
Yazid ibn Muawiyah (681-683 M), Muawiyah ibn Yazid (683-684 M), Marwan ibn
Al-Hakam (684-685 M), Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M), Al-Walid ibn Abdul
Malik (705-715 M), Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Sulaiman ibn Abdul
Malik (715-717 M), Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M),Yazid ibn Abdul Malik
(720-724 M), Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M), Walid ibn Yazid (742 - 743 M ),
Yazid ibn Walid (Yazid III) (743 M), Ibrahim ibn Malik (744 M), Marwan ibn
Muhammad (745-750 M). Empat orang khalifah memegang kekuasaan sepanjang 70
tahun, yaitu Muawiyah, Abdul Malik, al- Walid 1 dan hisyam. Sedangkan sepuluh
khalifah sisanya hanya memerintah dalam jangka waktu 20 tahun saja. Para pencatat
sejarah umumnya sependapat bahwa khalifah-khalifah terbesar mereka ialah :
Muawiyah, Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz.[7]
Muawiyah ibn Abi Sufyan adalah pendiri
Daulah Bani Umayyah dan menjabat sebagai Khalifah pertama. Beliau adalah putera
dari Abu Sufyan bin Harb, seorang pemuka suku Quraisy yang masuk Islam
pasca-fathul makkah.
Kebijakan pertama yang ia lakukan adalah
memindahkan ibu kota dari Madinah al Munawarah ke kota Damaskus dalam wilayah
Suriah. Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan wilayah kekuasaan
Islam yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Disamping itu.,
kebijakan yang lain adalah dengan mengatur birokrasi baru yang berciri-khas
Syam, dengan strata Arab dan Mawali (ajam atau non-Arab).
Secara kenegaraan, Muawiyah mengubah
bentuk pemerintahan dari model Khulafa’ur Rasyidin yang menggunakan konsep
Syura pada mekanisme pergantian kepemimpinan menjadi bentuk kerajaan dengan
“pewarisan kekuasaan” pada puteranya. Muawiyah adalah seorang politisi yang
cukup paham strategi. Ia menerapkan beberapa kebijakan pada lawan politiknya,
seperti mengurangi hak politik Hasan bin Ali serta mempersiapkan puteranya
untuk menggantikannya agar kedudukan politiknya kuat.
Namun dalam perspektif lain, Muawiyah memiliki
kontribusi besar dalam perubahan struktur sosial dan politik umat pada waktu
itu. Muawiyah memisahkan Qadhi dan Ulama, sehingga posisi qadhi atau hakim
menjadi sebuah jabatan profesi. Beliau juga memodernisasi militer sehingga
lebih professional dalam menjalankan tugas, kendati sering digunakan untuk
menghadapi lawan-lawan politiknya.
Muawiyah juga memiliki prestasi lain di
bidang politik luar negeri. Penyebaran Islam ke luar yang telah dimulai sejak
era Umar bin Khattab diteruskan oleh Muawiyah dengan mengirim pasukan ke Afrika
Utara (wilayah Maroko sampai Tunisia) untuk menghadapi pasukan Barbar yang
menguasai daerah tersebut dan sering mengancam wilayah Mesir. Sebagai respons,
gubernur Mesir, Amr bin Ash menunjuk panglima Uqbah untuk menghadapi kekuatan
Barbar dan akhirnya berhasil menguasai Qairawan di Maroko sampai ke sebelah
selatan Tunisia.[8]
Suksesi kepemimpinan secara turun temurun
di mulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia
tehadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di
Persia dan Bizantium.[9]
Khalifah Yazid merupakan putera dari
Muawiyah. Beliau lahir pada tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah
mencalonkan anaknya, Yazid, untuk menggantikan dirinya. Yazid menjabat sebagai Khalifah
dalam usia 34 tahun pada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh
di Madinah tidak mau mengangkat bai’at kepadanya. Khalifah Yazid kemudian
mengirim surat kepada Gubernur Madinah dan memintanya untuk mengangkat bai’at
kepada Yazid beserta warga hijaz secara keseluruhan. Dengan cara ini, semua
orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair.
Bersamaan dengan itu, pengikut Ali
melakukan rekonsolidasi kekuatan. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh
Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atas
permintaan pengikut Ali yang ada di sekitar Kufah dan mengangkat Husein sebagai
Khalifah. Akan tetapi, rombongan Husein yang tidak didukung oleh milisi atau
tentara kemudian dihadang oleh pasukan Khalifah Yazid.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang di
Karbala, sebuah daerah yang sekarang masuk ke wilayah Irak secara territorial.
Tentara Husein yang tidak bersenjata lengkap kalah dan Husein sendiri mati
terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur
di Karbala.
Pasca-kematian Hussein, penduduk Hijaz
membai’at Abdullah bin Zubair sebagai khalifah. Abdullah bin Zubair adalah
putera dari Zubeir bin Awwam, seorang sahabat nabi yang juga adalah golongan
awal masuk Islam Ibunya adalah Asma’
binti Abu Bakar, puteri Abu Bakar Ash-Shiddiq.Posisi ayahnya sangat dihormati
di kalangan muhajirin, dan ayahnya juga bersama Aisyah terlibat pada perang
Jamal. Posisi Abdullah bin Zubair menguat tanpa bisa dicegah oleh Khalifah
Yazid sebelum kematiannya.
Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai
Khalifah pada tahun 683-684 M dalam usia 23 tahun. Berbeda dengan ayahnya, ia
bukan seseorang yang berwatak keras atau menyukai peperangan. Tak banyak
literatur yang membahas tentang Khalifah ini secara lengkap. Ia memerintah
kurang lebih 40 hari, dan meletakkan jabatan sebagai khalifah sebelum wafat
tiga bulan kemudian. Ia mengalami tekanan jiwa berat karena tidak sanggup
memikul tanggung jawab khilafah yang besar itu. Dengan wafatnya, maka habislah
keturunan Muawiyah dalam melanggengkan kekuasaan dan berganti ke Bani Marwan,
yaitu Marwan bin Hakam.[10]
Sebelumnya, Marwan bin Hakam adalah
penasehat Khalifah Utsman dan turut berada di barisan Muawiyah ketika awal-awal
dinasti Umayyah dan konflik dengaan Ali. Masa pemerintahannya tidak
meninggalkan jejak yang penting bagi perkembangan sejarah Islam.
Hal menarik yang patut dicatat adalah
menguatnya pengaruh Abdullah bin Zubair bin Awwam di daerah Hijaz, Nejd, dan
Yaman sehingga ia berhasil mengonsolidasi kekuatan pada era tersebut. Abdullah
bin Zubair telah bertransformasi menjadi kekuatan penekan (pressure group) yang
sangat efektif; Ia mengorganisasi kekuatan militer di Mekkah dan Madinah serta
menjadi khalifah setelah dibai’at oleh orang-orang Hijaz.[11]
Atas dasar ini, maka pemerintahan Muawiyah
ibn Yazid, Marwan bin Hakam, dan Abdul Malik bin Marwan ( di masa awal
pemerintahannya ) adalah tidak sah. Sebab, mereka berkuasa di Syam pada saat
pemerintahan Abdullah ibn Zubair. Inilah pendapat sebagian besar sejarawan.[12]
Khalifah Marwan bin Hakam masih belum
dapat mencegah kekuatan Abdullah bin Zubair secara penuh. Khalifah Marwan wafat
dalam usia 63 tahun dan masa pemerintahannya selama 9 bulan 18 hari
Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai
Khalifah setelah kematian ayahnya, pada tahun 685 M. Dibawah kekuasaan Abdul
Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan. Hal yang terlebih dulu dilakukan
oleh Khalifah Abdul Malik adalah menyatukan kembali kekuatan politik Bani Umayyah
yang sempat terpecah di era sebelumnya. Khalifah Abdul Malik kemudian
mengorganisasi kekuata militer untuk menghadapi kelompok Abdullah bin Zubair
yang menguasai Hijaz.
Pada akhirnya, kekuatan Abdullah bin
Zubair terdesak. Pasukan Bani Umayyah dapat menguasai kota Mekkah, benteng
pertahanan terakhir dari Abdullah bin Zubair dan membunuh Abdullah bin Zubair.
Dikuasainya Hijaz ini kemudian mengakhiri pemberontakan orang-orang Hijaz dan
secara otomatis menyatukan kembali kekuatan Bani Umayyah pada satu
kepemimpinan.[13]
Sejak itulah Abdul Malik secara legal
menjadi khalifah kaum muslimin. Abdullah ibn Zubair memerintah selama kurang lebih Sembilan tahun.[14]
Khalifah Abdul Malik adalah orang kedua
yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayah yang disebut-sebut
sebagai “Pendiri kedua” bagi kedaulatan Umayyah. Ia dikenal sebagai seorang
khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama di bidang fikih.[15]
Khalifah Abdul Malik sebagai Khalifah yang
tegas, perkasa dan negarawan yang cakap dan berhasil memulihkan kembali
kesatuan dunia Islam. Ia memiliki kontribusi penting dalam tata moneter dunia
Islam.[16]
Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga
memiliki kontribusi dalam penyebaran Islam. Politik Luar Negeri yang berbasis
pada penyebaran Agama Islam ke luar daerah juga menuai hasil yang cukup
signifikan, antara lain dengan berhasil dikuasainya Balkh, Bukhara, Khawarizm,
Farghana, dan Samarkand di Asia Kecil yang sekarang masuk ke teritori negara
Uzbekistan serta Kazakhstan Khalifah
Abdul Malik memerintah paling lama, yakni 21 tahun ditopang oleh para
pembantunya yang juga termasuk orang kuat dan menjadi kepercayaanya, seperti
al-Hajjaj ibn Yusuf yang gagah berani di medan perang, dan Abdul Aziz,
saudaranya yang dipercaya memegang jabatan sebagai gubernur Mesir.beliau wafat
pada tahun 705 M / 86 H dalam usia yang ke-60 tahun, dan diganti oleh putranya
yang bernama al-Walid.[17]
Pada masa pemerintahan Walid bin Abdul
Malik, telah terjadi kemapanan politik yang mengakhiri periode transisi. Gerakan-gerakan
oposisi dan kelompok penekan telah dipadamkan sehingga kekuatan Khalifah Walid
cukup kuat. Dengan adanya kemapanan ini, kebijakan Khalifah Walid lebih
berkonsentrasi pada konsolidasi politik dan pelaksanaan politik luar negeri
dengan menyebarkan Islam ke daerah lain dengan kekuatan dan sumber daya yang
dimiliki.
Pada era ini, tekanan dari penduduk Hijaz
telah mereda dan tidak lagi mengancam eksistensi kekuasaan khalifah. Hajjaj bin
Yusuf Ats-Tsaqafi diberi kebebasan untuk memerintah daerah Irak. Kebijakan
khalifah Walid lebih berorientasi pada ekspansi dan pengembangan sayap dakwah
Islam ke wilayah-wilayah lain. Khalifah Al-Walid memiliki bangunan sumber daya
yang cukup kuat untuk melaksanakan politik luar negerinya tersebut.
Pada masa ini, penyebaran Islam mengalami
momentumnya tersendiri/ tercatat suatu peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah
kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, yaitu pada
tahun 711 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai ke Andalusia (Spanyol)
dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziad. Perjuangan panglima Thariq bin Ziad
mencapai kemenangan, sehingga dapat menguasai kota Cordoba, Granada dan Toledo
yang merupakan wilayah kekuasaan Roderik, penguasa Gothik yang memerintah
wilayah Spanyol dan Portugal.
Khalifah Walid bin Abdul Malik juga
berhasil menyebarkan Islam sampai ke India di bawah kepemimpinan Muhammad bin
Qasim. Kemenangan pasukan Islam di Punjab kemudian memberi peluang untuk masuk
ke India yang sangat kental kekuatan Hindunya. Muhammad bin Qasim kemudian
berhasil memasuki India hingga menguasai Delhi yang kelak menjadi kekuatan Islam di India.
Walid bin Abdul Malik menjadi seorang
Khalifah yang dikenal luas oleh publik internasional sebagai pemimpin yang
disegani. Khalifah Walid berhasil mendesak kekuatan kaum Gothik di Spanyol
serta mulai menyebarkan Islam ke segenap penjuru Asia. Hal ini tak lepas dari
struktur militer yang professional yang telah dibangun oleh pemerintah pada
waktu itu. Militansi kekuatan militer cukup tinggi, terlihat dari berhasilnya
pasukan Thariq bin Ziyad dalam menaklukkan Spanyol, padahal kekuatan Gothik
masih begitu kuat dan pasukan yang dikirim tidak terlalu besar kuantitasnya.
Sulaiman Ibn Abdul Malik menjadi Khalifah
pada usia 42 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan.
Menjelang saat terakhir pemerintahannya beliau memanggil Gubernur wilayah
Hijaz, yaitu Umar bin Abdul Aziz, yang kemudian diangkat menjadi penasehatnya.
Umar bin Abdul ‘Aziz pada dasarnya adalah seorang ulama. Hal inilah yang
menyebabkan posisinya cukup kuat di kalangan ulama Mekkah dan Madinah, di
samping faktor nasab beliau yang juga merupakan cucu dari Khalifah Umar bin
Khattab.
Pada era pemerintahannya, penaklukan
Romawi menemui kendala. Satu-satunya jasa yang dapat dikenangnya dari masa
pemerintahannya ialah menyelesaikan dan menyiapkan pembangunan Jamiul Umawi
yang terkenal megah dan agung di Damaskus.[18]
Sulaiman ibn Abdul Malik dibenci oleh
rakyatnya karena tabiatnya yang kurang bijaksana. Para pejabatnya terpecah
belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-orang yang berjasa di masa para pendahulunya disiksanya, seperti
keluarga al-Hajjaj ibn Yusuf dan Muhammad ibn Qasim yang menundukkan India. Ia
menunjuk Umar ibn Abdul Aziz sebagai penggantinya sebelum meninggal pada tahun
99 H.[19]
Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai
Khalifah pada usia 37 tahun . Ia terkenal adil dan sederhana. Hepi Andi
Basthoni dalam sebuah bukunya bahkan membandingkan figur keulamaannya dengan
kepemimpinan yang merupakan warisan dari kakek beliau, Umar bin Khattab.
Beliau adalah cucu dari Khalifah Marwan
bin Hakam (dari Bapak beliau, Abdul Aziz bin Marwan) dan sepupu dari Sulaiman
bin Abdul Malik. Berbeda dari khalifah sebelumnya yang memiliki karakter politisi,
karakter yang melekat pada diri beliau adalah karakter keulamaan. Semua Umar II
dengan tegas menolak jabatan kekhalifahan yang ditunjuk oleh pendahulunya,
Sulaiman. Karena terus didesak oleh kaum muslim, akhirnya menerima amanah umat
tersebut yang menurutnya merasa tidak ringan itu. Buktinya, pada umumnya
seperti layaknya orang baru menerima anugrah jabatan, pasti seseorang
mngucapkan alhmadulillah sebagai anugrah Tuhan, justru Umar II sebaliknya; ia
mengucap Innalillahi wa Inna ilaihi Raajiun, seperti orang yang baru terkena
musibah.[20]
Setelah menjadi khalifah ia kirim segala
kekayaan ke kas negara, termasuk kekayan pribadi ibu negara Hal ini yang
menyebabkan kezuhudan beliau selama memerintah dengan kesederhanaan yang
melekat pada kepribadian beliau. Masa pemerintahan beliau sangat singkat, hanya
dalam 2 tahun lebih.
Sebuah cerita yang dilukiskan oleh Hepi
Andi pada bukunya cukup untuk menyadarkan kita akan pentingnya kesederhanaan.
Pada cerita yang diambil pada sebuah atsar tersebut, terlihat bahwa Umar bin
Abdul Aziz tidak ingin menggunakan lampu yang dibiayai oleh Baitul Mal untuk
keperluan pribadinya. Beliau mematikan lampu ketika anak beliau datang ke
kantor pemerintahan. Kesederhanaan beliau disinggung dalam berbagai kitab
Tarikh dan menjadi teladan bagi pemimpin dunia.
Sehingga, wajar jika banyak yang menyebut
beliau sebagai Umar II, yang memang mewarisi sikap sederhana dari Khalifah Umar
bin Khattab. Ketika dinobatkan sebagai Khalifah, beliau segera menegaskan
sebuah komitmen dan frame kebijakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan
pembangunan negeri yang berada dalam naungan Islam lebih baik daripada menambah
perluasan ke wilayah lain. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan
dalam negeri dan konsolidasi serta ishlah pada beberapa kelompok yang sempat
bertikai dengan khalifah sebelumnya.
Meskipun masa pemerintahannya sangat
singkat, beliau berhasil menjalin hubungan baik dengan kelompok Syi’ah dan
Khawarij yang pada saat itu telah memulai langkah untuk menjadi sebuah faksi
teologis di Bani Umayyah.. Posisi beliau sebagai gubernur Hijaz memudahkan
rekonsiliasi dengan penduduk Mekkah dan Madinah, ditambah dengan figure
keulamaan dan kezuhudan yang melekat dalam kepribadian beliau.[21]
Umar ibn Abdul aziz berusaha memperrbaiki
segala tatanan yang ada pada masa
kekhalifahanya, seperti menaikkan gaji untuk para gubernurnya, memeratakan
kemakmuran dengan member santunan kepada para fakir dan miskin, memperbaharui
dinas pos, menyamakan kedudukan orang-orang non Arab yang menempati sebagai
warga Negara kelas dua, dengan orang-orang Arab, mengurangi beban pajak dan
menghentikan pembayaran jizyah bagi orang Islam baru.
Umar ibn Abdul Aziz termasuk khalifah
ketiga yang besar, meskipun masa pemerintahannya sangat pendek, namun Umar
merupakan “ lembaran Putih “ Bani
Umayyah dan sebuah periode yangberdiri sendiri, mempunyai karakter yang tidak
terpengaruh oleh kebijaksanaan – kebijaksanan Daulah Umaiyah yang banyak
disesali. Beliau merupakan personifikasi seorang khalifah yang taqwa dan
bersih, suatu sikap yang jarang sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin
Bani Umayyah.[22]
Sayangnya, masa pemerintahannya tergolong
singkat yaitu tidak sampai 3 tahun. Umar II yang naik tahta pada usia 35 tahun,
harus sudah meninggal pada usia 38 tahun. Kematiannya dikaitkan dengan
kecemburuan keluarga Khalifah sebelimnya, yang mengangkat khalifah bukan dari
keturunannya. Cuma sepupu, padahal, Sulaiman punya anak dan saudara yang lebih
berhak untuk menggantikannya, kematian Umar II ini konon karena di racun
pembantunya.[23]
Periode ini merupakan awal dari kemunduran
Bani Umayyah. Khalifah Yazid III tidak dapat melanjutkan keteladanan yang
dipraktikkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Bibit-bibit disintegrasi mulai
muncul dengan pertentangan-pertentangan pada faksi-faksi politik dan etnis yang
ada pada masa itu.
Hisyam ibn Abdul Malik menjabat sebagai
Khalifah pada usia yang ke 35 tahun. Beliau terkenal negarawan yang cakap dan
ahli strategi militer. Pada masa pemerintahannya muncul satu kekuatan baru yang
menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan ini berasal
dari kalangan Bani Hasyim, keturunan dari Abbas bin Abdul Muttalib dari Mekkah
yang didukung oleh golongan Mawali dan Ajam serta menjadi sebuah ancaman yang
sangat serius.
Dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan
baru ini mampu mengonsolidasi diri untuk kemudian menggulingkan Dinasti Umayyah
dan menggantikannya dengan Dinasti baru, Bani Abbasiyah.
Pemerintahan Hisyam yang lunak dan jujur
menyumbangkan jasa yang banyak untuk pemulihan keamanan dan kemakmuran. Namun,
karena gerakan oposisi terlalu kuat, Khalifah tidak memiliki kekuatan yang
cukup kuat untuk mematahkannya. Gerakan Abbasiyah –kekuatan oposisi
tersebut—kemudian menjadi kekuatan laten yang mengancam eksistensi
pemerintahan. Namun, mereka tidak melakukan show of force pada masa
pemerintahan Khalifah Hisyam.
Meskipun demikian, pada masa pemerintahan
Khalifah Hisyam kebudayaan dan kesusastraan Arab serta lalu lintas dagang
mengalami kemajuan. Hubungan perdagangan dengan Eropa dibuka. Wilayah Eropa
juga berhasil ditaklukkan, sampai ke pegunungan Pyrennia dan mencapai
perbatasan Perancis. Pasukan umat Islam di bawah pimpinan Abdurrahman
Al-Ghafiqi dari Cordoba, ibukota kekhalifahan Islam di Spanyol berhasil
mencapai pegunungan Pyrennia dan bergerak ke selatan, menuju Sisilia.[24]
Hisyam ibn Malik meninggal pada tahun 125
H / 742 M. pemerintahannya beerlangsung selama dua puluh tahun. Pada masa
pemerintahannya Negara mengalami kemerosotan dan melemah. Ini semua karena
terjadi karena adanya fanatisme antara
orang-orang arab selatan dan arab utara, secara khusus khurasan. Inilah
yang membuat orang-orang syiah mendapatkan kemenangan baru di kawasan tersebut.[25].
Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran
dimasa pemerintahan Walid ibn Yazid. Meskipun demikian, kebijakan yang paling
utama yang dilakukan oleh Khalifah Walid ibn Yazid ialah melipatkan jumlah
bantuan sosial bagi pemeliharaan orang-orang buta dan orang-orang lanjut usia
yang tidak mempunyai famili untuk merawatnya. Beliau menetapkan anggaran khusus
untuk pembiayaan tersebut dan menyediakan perawat untuk masing-masing orang.
Periode Khalifah Yazid III penuh dengan
kemelut dan pemberontakan. Masa pemerintahannya berlangsung selama 6 bulan.
Tidak banyak literatur yang menggambarkan situasi politik dan pemerintahan
ketika beliau memerintah. Beliau wafat dalam usia 46 tahun akibat penyakit
tha`un.
Diangkatnya Ibrahim menjadi Khalifah tidak
memperoleh legitimasi politik yang cukup di lingkungan keluarga Bani Umayyah
dan rakyatnya. Karena itu, keadaan negara semakin kacau dengan munculnya
beberapa pemberontak.
Di sisi lain, kekuatan gerakan Abbasiyah
yang diorganisasi oleh Abul Abbas As-Saffah juga semakin terkonsolidasi.
Klimaksnya, beliau menggerakkan pasukan besar berkekuatan 80.000 orang dari
Arnenia menuju Syiria. Atas tekanan yang dihadapi, beliau dengan suka rela
mengundurkan dirinya dari jabatan khilafah dan mengangkat baiat terhadap Marwan
ibn Muhammad. Khalifah Ibrahim memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun
132 H.
Marwan ibn Muhammad seorang ahli negara
yang bijaksana dan seorang pahlawan. Pada awalnya, beliau adalah seorang
gubernur di salah satu wilayah yang dikuasai oleh Bani Umayyah. Delegitimasi
politik yang dialami oleh Khalifah Ibrahim serta keadaan yang sudah cukup
mengkhawatirkan menyebabkan beliau akhirnya dibai’at sebagai khalifah.
Pemberontak dapat ditumpas oleh beliau,
tetapi ternyata Khalifah Marwan tidak mampu menghadapi gerakan Bani Abbasiyah
yang telah kuat pendukungnya. Gerakan Abbasiyah kemudian mengonsolidasi diri
dan mulai melancarkan serangkaian serangan ke Damaskus yang telah lemah. Marwan
ibn Muhammad akhirnya berhasil dikudeta oleh kelompok Abbasiyah.
Beliau melarikan diri ke Hurrah, terus ke
Damaskus dan akhirnya sampai ke Mesir. Khalifah Marwan terbunuh pada tanggal 27
Dzulhijjah 132 H\5 Agustus 750 M. Dengan kudeta ini, berakhirlah kedaulatan
Bani Umayyah dan terjadi transformasi kepemimpinan ke Bani Hasyim yang dipimpin
oleh Abul Abbas As-Saffah, keturunan dari Abbas bin Abdul Muttalib, paman
Rasulullah Saw.[26]
C. KONSTRUKSI POLITIK BANI UMAYYAH
Sistem ketatanegaraan yang dibangun oleh
Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb sebagai khalifah adalah sistem pemerintahan
monarki atau kerajaan. Pergantian kepemimpinan dilakukan dengan pewarisan ke
putera mahkota (dari ayah ke anak atau saudara) dan dilakukan dengan mekanisme
penunjukan, bukan lagi Syuro. Khalifah lebih berfungsi sebagai Raja, berbeda
dengan Khalifah di era Khulafaur-Rasyidin. Sistem monarki yang terbangun juga
menempatkan Bani Umayyah sebagai kaum bangsawan dan lingkaran kekuasaan.
Hal ini berbeda dengan paradigma kekuasaan
pada era sebelumnya yang menempatkan Khalifah sebagai pemegang amanah umat.
Sehingga, seorang Khalifah pada saat itu merupakan sebuah konsensus dari umat
Islam yang dipilih dengan mekanisme yang syar’i. Seorang Khalifah ketika era
Khulafaur Rasyidin menempatkan kesederhanaan dan kezuhudan sebagai bagian tak
terpisahkan dari seorang Khalifah. Ketika Muawiyah menjadi khalifah, paradigma
ini secara otomatis berubah.
Implikasi pertama yang menyertai
konstruksi monarki ini adalah berubahnya pola kekuasaan. Otoritas tertinggi ada
pada khalifah, sehingga pada waktu itu seorang khalifah harus ditaati
perintahnya.
Implikasi kedua adalah sentralisasi dan
absolutisme kekuasaan yang begitu kental. Peran seorang khalifah dalam
menentukan kebijakan sangat besar. Gubernur tidak diperkenankan membuat
kebijakan sendiri –terutama ketika periode transisi—dan peran Khalifah dalam
pembuatan keputusan sangat dominan. Dampak positif dari kekuasaan yang sangat
sentralistik ini adalah ketepatan strategi dalam mengatasi pemberontakan,
tetapi hal ini juga berdampak negatif pada kemunculan kelompok-kelompok penekan
dan potensi ketidakadilan yang sangat tampak.
Implikasi ketiga adalah berkurangnya peran
ulama dari lingkaran kekuasaan. Kecuali pada era Umar bin Abdul Aziz, peran
ulama tidak sesentral era Khulafaur Rasyidin sehingga kecenderungan
pemerintahan di Bani Umayyah ini tidak memasukkan ulama. Para ulama menjauh
dari lingkaran elit istana; mereka hanya memberi fatwa dan nasehat di kalangan
masyarakat. Kendati demikian, pemerintah terkadang meminta fatwa kepada para
ulama berkaitan dengan sebuah permasalahan tertentu tanpa ada
implikasi-implikasi lain.
Implikasi keempat adalah kekuasaan ada
pada sekeliling istana saja. Kelompok dari luar Bani Umayyah tidak memiliki
akses pada pemutus kebijakan sehingga menimbulkan beberapa gejolak. Sistem
monarki tidak memungkinkan adanya orang dari kelompok lain memegang tampuk
kekuasaan, sehingga muncul gerakan-gerakan yang ingin merebut kekuasaan,
seperti Abdullah bin Zubair dan Abul Abbas As-Saffah. Implikasi inilah yang
menyebabkan runtuhnya Dinasti Umayyah.[27]
Seperti dijelaskan di atas, sistem
pemerintahan Bani Umayyah yang monarki, konstruksi oposisi secara otomatis
terbangun dengan gerakan politik ekstra kekuasaan dan pemberontakan. Dalam
konteks sejarah Bani Umayyah, pemberontakan banyak yang dapat dipadamkan oleh
Khalifah. Akan tetapi, ada dua gerakan yang menarik untuk diulas dalam hal ini,
yaitu gerakan yang dibangun oleh Abdullah bin Zubeir bin Awwam di Hijaz dan
gerakan yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah di Kufah. Kedua gerakan ini
eksis dalam rentang waktu yang cukup lama dan memiliki legitimasi dari kelompok
dan daerah masing-masing.
Pertama, gerakan Abdullah bin Zubeir.
Gerakan ini merupakan stimulasi kekecewaan warga di daerah jazirah Arab (Hijaz
dan sekitarnya) atas kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan dan khalifah di
bawahnya. Gerakan in mengakar pada kekecewaan atas sikap Muawiyah yang secara
taktis merebut kekuasaan atas Ali dengan perundingan yang dianggap tidak fair
(peristiwa tahkim). Pasca pembantaian Karbala yang melahirkan Syiah sebagai
faksi teologis tersendiri, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubeir sebagai
Khalifah dan mulai mengkonsolidasi diri.
Abdullah bin Zubeir yang mendapat
legitimasi politik dari orang-orang Mekkah dan Madinah mulai membangun
pertahanan di Mekkah. Kedekatan Abdullah bin Zubeir dengan kaum ulama semakin
memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin oposisi, ditambah dengan melemahnya
kekuatan Damaskus sepeninggal Muawiyah. Konstruksi gerakan oposisi ini
merupakan respons atas terbunuhnya Husein bin Ali dan hilangnya hak politik
Hasan bin Ali oleh Damaskus.
Namun, ternyata rekonsolidasi kekuatan
Bani Umayyah di era kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan berhasil
mengalahkan kekuatan oposisi yang telah terbangun tersebut. Di sini, menarik
untuk dicermati bahwa pemerintahan yang kuat dapat melemahkan gerakan oposisi.
Apalagi dengan tampilnya Abdul Malik bin Marwan dengan panglima Hajjaj bin
Yusuf Ats-Tsaqafi sebagai pemimpin perang yang ahli dalam strategi, Bani
Umayyah menjadi semakin kuat dan tangguh.
Fenomena berbeda justru terjadi pada
kekuatan oposisi yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah. Mereka memanfaatkan
ketidakadilan yang dialami oleh kelompok mawalli (non-Arab) yang merasa
dinomorduakan pada kepemimpinan Bani Umayyah, kecuali era Umar bin Abdul Aziz.
Gerakan Abbasiyah juga memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan
gerakan dengan aksi-aksi yang laten namun mengancam eksistensi pemerintahan.
Isu-isu yang dibawa oleh gerakan, didukung oleh kekuatan eksternal dari
orang-orang mawalli, efektif sebagai gerakan oposisi yang mengancam kekuasaan.
Pasca-era Hisyam bin Abdul Malik,
pemerintahan Bani Umayyah telah menjadi pemerintahan yang lemah. Lemahnya
pemerintahan, hilangnya figur Khalifah yang strategis, serta efektivitas
gerakan telah menguatkan posisi gerakan Abbasiyah. Hingga akhirnya kelompok ini
bertransformasi menjadi gerakan politik total yang berhasil merebut kekuasaan
pada tahun 750 M Khalifah Muawiyah
melanjutkan usaha Khalifaur Rasyidin dalam penyebaran dakwah ke wilayah lain.
Kali ini, wilayah Asia Kecil seperti Balkh, Bukhara, Samarkand, atau Khawarizm
di Iran Utara berhasil dikuasai. Wilayah Afrika Utara dari Maroko sampai ke
Tunisia dan Sahara Barat juga dapat menerima dakwah Islam. Prestasi ini bahkan
berlanjut sampai ke Eropa dan India di era Walid bin Abdul Malik. Sehingga,
secara territorial wilayah umat Islam terbentang dari Pegunungan Pyrennia di
Spanyol sampai ke Delhi di India.
Perluasan wilayah ini merupakan salah satu
parameter keberhasilan dari politik luar negeri yang dibangun oleh umat Islam
pada era Bani Umayyah tersebut. Dengan adanya batas territorial baru tersebut,
hubungan antara umat Islam dengan bangsa lain di luar Timur Tengah juga menjadi
semakin intensif dan hubungan perdagangan pun dibuka dengan bangsa lain. Ketika
itu, Damaskus telah bertransformasi menjadi pusat peradaban yang menampilkan
Islam sebagai sebuah peradaban.[28]
Selain itu, umat Islam juga telah menjadi
kekuatan politik internasional baru yang mewarnai dunia. Bani Umayyah yang
secara gemilang melakukan penyebaran dakwah menjadikan Islam tidak hanya
menjadi milik bangsa Arab, tetapi telah menjadi sebuah agama yang dianut oleh
bangsa lain.
Bertambah luasnya teritorial umat Islam
ini juga berdampak pada struktur birokrasi pemerintahan pada Bani Umayyah.
Sebagai implikasi munculnya daerah baru, pada saat itu muncul gubernur-gubernur
yang memerintah daerah baru tersebut sebagai wakil dari pemerintah pusat.
Adanya gubernur yang menjadi wakil administratif tersebut kemudian menambah
pemasukan di Baitul Mal berupa jizyah dari orang non-muslim yang berada di
wilayah kekuasaan umat Islam.
Selain itu, bertambah luasnya teritori
umat Islam tersebut juga memiliki implikasi bagi stratifikasi sosial baru di
kalangan umat Islam. Muncul kemudian kelompok Arab dan Mawalli (muslim
non-Arab) yang menempati strata sosial berbeda di masyarakat. Kelompok mawalli
merasa dinomorduakan dan kemudian menjalin hubungan dengan Bani Hasyim untuk
kemudian membentuk gerakan oposisi. Stratifikasi sosial ini juga tak lepas dari
kebijakan politik Bani Umayyah yang tidak ingin kekuasaannya terancam.[29]
D. PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN MASA DINASTI BANI UMAYYAH
Meskipun para penguasa dinasti Bani
Umayyah lebih mengutamakan usaha pengembangan wilayah kekuasaan dan memperkuat
angkatan bersenjatanya, ternyata banyak juga usaha positif yang dilakukan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah satu yang mendorong ilmu pengetahuan
berkembang adalah dengan memberikan motivasi dan anggaran yang cukup besar yang
diberikan untuk para ulama, ilmuan, seniwan, dan sastrawan. Tujuannya antara lain agar mereka bekerja maximal dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam,
tidak lagi memikirkan masalah keuangan rumah tangga mereka.[30]
Kemajuan ilmu agama mulai brkembang pada da
masa Khalifah Abdul Malik sebagai contoh Sibawaih yang berhasil menyusun kitab
Nahwu dan sharaf, Khalifah Abdul Malik juga perhatian kepada tafsir, hadits,
fikih dan ilmu kalam, di zaman inilah dimulai dan muncul nama-nama seperti
Hasan al- Basri, az-Zuhri dan Washil bin Atha`.[31]
Dalam lapangan sosial budaya, bani Umayyah telah membuka
terjadinya kontak antara bangsa-bangsa muslim (Arab) dengan negeri-negeri
taklukan yang terkenal memiliki tradisi yang luhur seperti Persia, Mesir, Eropa
dan sebagainya. Hubungan itu lalu melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan
di bidang seni dan ilmu pengetahuan. Di lapangan seni, terutama seni
arsitektur, Bani Umayyah mencatat prestasi puncak, seperti Qubah as- Shakhra di
Yerusalem menjadi monument terbaik yang hingga kini tak henti-hentinya di
kagumi orang.
Pemerintahan Bani Umayyah juga mempunyai
keistimewaan lain, yaitu terdapatnya peluang yang cukup sepanjang kurun
kekuasaanya bagi perkembangan berbagai aliran yang tumbuh di masyarakat.
Meskkipun sebagian aliran itu boleh jadi dikehendaki perkembangannya oleh
penguasa waktu itu, tetapi situasi yang tercipta disadari atau tidak telah
memperkaya khazanah kebudayaan Islam yang universal. Aliran-aliran tersebut
antara lain Syiah, Khawarij, dan Mu`tazilah.[32]
Pada masa Umar II banyak sekali perilaku dan
kebijakan-kebijakan yang dilakukannya mengandung pelajaran yang patut di teladani dan di tiru,
diantaranya:
a.
Sikap hidup yang sederhana, zuhud,
dan wara. Fakta telah menyebutkan bahwa ia menyerahkan seluruh hartanya ke Bait
al-Mal untuk kepentingan rakyat, bahkan kalung emas milik istrinya yang
bernilai 10 ribu dinar mas pun diserahkanya, ia hanya menggunakan 2 dirham saja
dari kekayaanya padahal sebelum menjadi khalifah kekayaanya sangat berlimpah.
b.
Demokratis dalam memimpin. Umar II
selalu meminta pendapat penduduk setempat dalam hal pemilihan calon gubernur.[33]
c.
Kesalehan dan kezuhudanya. Ia
selalu duduk di tengah para sahabat nabi dan para perawi hadis, karena itulah
ia dikenal sebagai sufinya dinasti umayyah.
d.
Mencintai ilmu pengetahuan
terutama agama, ia mengutus sepuluh orang pakar hukum Islam ke Afrika Utara
untuk mengajar dan menyebarkan ilmu mengajar hal-hal agama Islam di sana
termasuk penyebaran ilmu sains dan ilmu kedokteran, ia mengirim dai-dai islam
ke berbagai Negara seperti di India,
Turki, Asia tengah, Afrika, Andalusia. Dengan misi utama agar mereka masuk
Islam. Ia juga memerintahkan semua warganya untuk berbondong-bondong untuk
mempelajari hukum Islam di setiap bangunan terutama masjid dalam rangka
menyebarkan ilmu pengetahuan. Selain itu ia juga menyuruh golongan cendekiawan
muslim agar menerjemahkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang termaktub dalam
kitab-kitab berbahasa Yunani, latin, dan Suryani ke bahasa Arab, agar ilmu-ilmu
dalam naskah-naaskah itu dapat dicerna oleh umat Islam yang menjaadi bahan
kajian bagi cerdik cendekiawan saat itu.
e.
Keadilan dan kemanusiaan adalah
dasar pemerintahan yang sangat diperhatikan oleh Umar II. Ia mengaplikasikan
ajaran Islam yang berbicara tentang keadilan murni dalam kepemimpinanya,
sehingga Umar II dapat merangkul mawali
dan berkurang jurang antara Arab dan Non Arab.[34]
f.
Kebijakan musyawarah yang
diterapkan Umar II dengan para sahabat nabi yang masih hidup dan para ulama
yang soleh dalam hal memutuskan sesuatu supaya tidak menyimpang dari al-Quran
dan hadis dan tidak merugikan masyarakat.[35]
g.
Tanggung jawab dan mendahulukan
kepentingan masyarakat dibandingkan kepentingan diri dan keluarganya.[36]
h.
Tegas dalam hal menegakkan hukum.
Pada masa alWalid I sebuah gereja st Thomas di Damaskus di jadikan masjid, pada
masa Umar II, gereja itu dikembalikan kepada umat Kristen.[37]
i.
Tegas dalam memimpin, Umar II
berani memecat pejabat Negara yang korup dan menggantikan dengan pejabat yang
amanah.[38]
E.
FAKTOR-FAKTOR KEJATUHAN
DINASTI UMAYYAH
1.
Pertentangan keras antara
suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab Utara
yang disebut Mudariyah yang menempati Irak
dan Arab Selatan ( Himyariyah ) yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman
Umaiyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para khalifah cenderung kepada satu fihak dan
menafikan yang lainnya.
2.
Ketidakpuasan sejumlah pemeluk
Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari kalangan
bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “ Mawali “, suatu status yang
menggambarkan inferioritas di
tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat fasilitas dari
penguasa Umayyah. Mereka bersama-sama Arab mengalami beratnya peperangan dan
bahkan beberapa orang di antara mereka
mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata orang Arab , tetapi harapan
mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan.
Seperti tunjangan yang di berikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil
di banding tunjangan yang di bayarkan kepada orang Arab.
3.
Latar belakang terbentuknya
kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik politik.
Kaum syiah dan khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan
sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan umayyah. Disamping menguatnya
kaum Abbasiyah pada masa-masa akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak
berambisi untuk merebut kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani
Umayyah dalam memimpin umat.[39]
4.
Persaingan di kalangan anggota
Dinasti Bani Umayyah membawa kelemahan kedudukan mereka.
5.
Hidup mewah di istana memperlemah
jiwa dan vitalitas anak-anak khalifah yang membuat mereka tidak sanggup memikul
beban pemerintahan yang sedemikian besar.[40]
F. Komparasi
al-Khulafa Al-Rasyidun dan Dinasti Umayyah
1.
Pada masa al-Khulafa al-Rasyidun
system pemerintahan dijalankan atas dasar al-Quran, hadis dan ijma’, sedangkan
pada masa dinasti Umayyah dalam menjalankan roda pemerintahan, perintah
kholifah segala-galanya dan harus dipatuhi.
2.
Pada masa al-Khulafa ar-Rasyidun,
khalifah menganggap sebagai pelayan masyarakat, sedangkan para khalifah dinasti
Umayyah menganggap diri mereka sebagai penguasa.
3.
Pada khulafa ar-Rasyidun bertahan
karena dukungan rakyat, sedangkan masa dinasti Umayyah bertahan dengan
kekuatan.
4.
Pada masa khulafa ar-Rasyidun
tidak ada satu suku yang berkuasa terus menerus, sedangkan pada masa Dinasti
Umayyah dalam kekhalifahan hanya merekalah yang menguasai.
5.
Pada masa khulafa ar-Rasyidun hak
berbicara dijamin dan rakyat dapat langsung menghadap khalifah sedangkan pada
masa Dinasti Umayyah hak bicara rakyat ditekan dan jika rakyat menghadap
khalifah harus melewati perantara yang disebut hajib.
6.
Pada masa khalifa ar-Rasyidun
system demokrasi berjalan, sedang pada masa Dinasti Umayyah suara rakyat tidak
dihiraukan.
7.
Pada masa khulafa ar-Rasyidun
tidak memliki hak terhadap bait al-Mal sedang pada Dinasti Umayyah bait al-Mal
menjadi milik khalifah sendiri.
8.
Pada masa khulafa ar-Rasyidun
pengaruh jahiliah berkurang, sementara pada masa Dinasti Umayyah bertambah.[41]
9.
Pada masa khulafa ar-Rasyidun
khlaifah hidup sederhana dan dianggap orang biasa, namun sebaliknya para
khalifah Dinasti Umayyah hidup dengan serba kemewahan seperti raja-raja Persia
dan Bizantium
10. Pada masa khulafa ar-Rasyidun khalifah merangkap ahli hukum,
agama, dan sangat menghargai alim ulama. Sedangkan jaman Dinasti Umayah para
ulama di istirahatkan dari dunia politik.
11. Pada masa khulafa ar-Rasyidun gerak-gerik khalifah tentang
urusan agama dibatasi oleh syari’ah sedangkan pada masa Dinasti Umayyah
khalifah memerintah seenaknya.
12. Pada masa khulafa ar-Rasyidun Majelis Syura’ di atas khalifah
dan keluarga, sedangkan pada masa Dinasti Umayyah anggota majelis Syura’ diangkat
dari dan oleh keluarga dan kaum kerabat khalifah.[42]
KESIMPULAN
Dari analisis di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa :
1.
Sejarah dinasti Umayyah tak dapat
dilepaskan dari peristiwa sebelumnya, yaitu konflik horizontal antara faksi
Muawiyah dan Ali sebagai Khalifah pada waktu itu. Momentum perseteruan terjadi
pada Perang Shiffin, ketika pasukan dua golongan bertemu. Perang ini diakhiri
dengan peristiwa Tahkim yang menandai pembagian kekuasaan antara Muawiyah dan
Ali, hingga terbunuhnya Ali.
2.
Dinasti Umayyah yang terbentang
mulai tahun 661 M – 750 M telah mengalami dinamika dan pasang-surut
kepemimpinan. Faktor Khalifah atau aktor yang menjadi pemutus kebijakan
tertinggi menjadi sangat penting bagi kekuatan Dinasti. Ketika Khalifah yang
berkuasa kuat, kedaulatan Bani Umayyah pun juga menjadi kuat.
3.
Bani Umayyah telah membangun
konstruksi politik yang sedemikian besar ketika berkuasa. Konstruksi kekuasaan
dibangun dengan mekanisme kerajaan atau monarki, sehingga berimplikasi pada
bergesernya pola orientasi kekuasaan, sentralisme kekuasaan pada Khalifah yang
berdampak pada absolutisasi kebijakan Khalifah, berkurangnya peran ulama dalam
pembuatan keputusan, serta munculnya lingkaran elit yang berbasis istana dengan
dominasi kelompok-kelompok di sekeliling Khalifah.
4.
Konstruksi Oposisi terbentuk
dengan adanya ketidakpuasan atas Khalifah dengan dua aktor utama: Abdullah bin
Zubair dan Abul Abbas As-Saffah. Gerakan Abdullah bin Zubair dapat dihancurkan
dengan kekuatan Khalifah yang begitu kuat, sementara Abul Abbas As-Saffah tak
dapat dikalahkan dengan mudah dan akhirnya berhasil merebut kekuasaan.
5.
Konstruksi politik luar negeri
dibangun dengan dasar penyebaran Islam melalui penaklukkan-penaklukkan. Umat
Islam berhasil mengembangkan territorial kekuasaan mereka hingga Spanyol di
ujung barat dan India di ujung selatan.
6.
Banyak sekali keteladanan yang
dapat kita peroleh dari perilaku dan kebijakan – kebijakan yang diterapkan Umar
bin Abdul Aziz, alangkah baiknya jika bisa meniru dan meneladaninya, sehingga
sejarah putih dan indah yang terjadi pada masa Umar II terulang kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Mustofa, Perlukah Negara Islam (Surabaya: Padma
press serial ke-27 diskusi tasawuf modern, 2010)
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam
(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana cetakan I, 2003)
Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab
(Jakarta: Logos cetakan I, 1997)
Badri Yatim, Sejarah
Kebudayaaan Islam (Jakarta: Grafindo cetakan I, 1993)
Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya
(Jakarta: UI Press cetakan V, 1985)
Http//Kommikom satu
gm. Word Press.com/2009/10/31/analisis sejarah.kh
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam
(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher cetakan I, 2007)
Murodi. Sejarah
Kebudayaan Islam (Semarang: Karya Toha Putra cetakan I, 2009)
Syalabi, Sejarah
kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka AlHusna Cetakan V, 1988)
[1] A.Salaby, Sejarah
Kebudayaan Islam 2, ( Terjemahan
Muhtar Yahya, Jakarta: Pustaka al- Husna, 1988), hal. 34
[2] M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam , ( Yogya: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm 108
[4] Ali Mufrodi : Islam di
kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta:
Logos, 1997 ), hlm. 70
[6] Ahmad al-Usairy, Sejarah
Islam sejak zaman Nabi Adam hingga abad xx, ( Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), hlm.
184
[7] Ali Mufrodi, Op.cit,
73
[8] Http:// Kommikom satu gm.
Word oress.com/2009/10/31/analisis sejarah.kh,hlm. 7
[9] Badri Yatim, Sejarah
Kebudayaan Islam, ( Jakarta: Grafindo, 1993 ), hlm. 42.
[10] Ali Mufrodi, Op.cit,
hlm. 74-75
[12] Op. Cit., Ahmad al-Usary,
hlm. 195
[13] Http// Kommikom, Loc.cit,
hlm. 9
[14] Ahmad al-Usyairy, Op.cit,
hlm. 196
[15] Ali Mufrodi, Op.cit,
hlm. 76
[16] Harun Nasution, Islam di
tinjau dari berbagai aspeknya, ( Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 63
[17] Ali Mufrodi, Loc. Cit,
hlm 76
[20] M. Abdul Karim, Op.cit,
hlm. 123
[21] Ali Mufrodi, Op.cit,
hlm. 79
[23] Agus Mustofa, Perlukah
Negara Islam, (Surabaya: Padma Press, 2010), hlm. 91
[25] Ahmad al-Usyary, Op.cit,
hlm. 209
[26] Http// Kommikom, Op.cit,
hlm. 16
[27] Http// Kommikom, Loc.cit,
hlm. 17
[28] Http// Kommikom, Loc.cit,
hlm. 18
[29] Http// Kommikom, Loc.cit,
hlm. 19
[31] Harun Nasution, Islam di
tinjau dari berbagai aspeknya, ( Jakarta:UI Press, 1985 ), hlm. 63
[32] Ali Mufrodi, Op.cit,
hlm. 83
[33] M. Abdul Karim, Op. cit,
hlm. 128
[35] M.Abdul karim, Loc.cit,
hlm. 132
[40] Harun Nasution, Op.cit,
hlm. 66
[41] M. Abdul Karim, Op.cit,
hlm. 141
bagus sekali.................
BalasHapusterima kasih artikel ini bisa membantu tugas akhir saya
BalasHapusMakasih ya... banyak sekali materinya.
BalasHapuskunjungi juga :
alifqofrahamzah.blogspot.co.id
The best casino games in Las Vegas - Dr.MCD
BalasHapusThe best 창원 출장샵 casino games in Las Vegas. 충청남도 출장안마 We recommend you to 동해 출장안마 take a break from gambling in the casinos. At the end of 전주 출장마사지 July 2019, 화성 출장마사지 we did